Indonesia merupakan wilayah yang sangat rawan bencana, dan peristiwa banjir serta longsor di Aceh dan berbagai wilayah Sumatera kembali mengingatkan kita bahwa penanganan pasca bencana membutuhkan respon yang cepat, kolaboratif, dan berkelanjutan. Di balik dampak fisik yang terlihat, bencana selalu menyisakan persoalan kemanusiaan yang mendesak: hilangnya ruang aman bagi keluarga, keterbatasan fasilitas pengungsian, dan kebutuhan akan shelter darurat yang layak, aman, dan manusiawi.
Dalam konteks inilah Workshop Emergency Shelter yang dilaksanakan pada 16–17 Desember 2025 menjadi bagian penting dari upaya bersama untuk menghadirkan solusi nyata. Workshop ini tidak hanya berfungsi sebagai wadah diseminasi pengetahuan, tetapi juga sebagai ruang belajar bersama untuk memperkuat kapasitas relawan dan pemangku kepentingan dalam penyediaan shelter darurat berbasis material lokal kayu dan bambu. Kegiatan ini terselenggara berkat dukungan dan kolaborasi berbagai pihak, antara lain CREM Paragon, SAPPK ITB, DPMK ITB, PP Mitigasi Bencana ITB, RAS, 3Plus, dan BCCF, serta melibatkan calon relawan yang akan diberangkatkan ke Sumatera, serta perwakilan dari Kitabisa, dan Komunitas Sesar Lembang Kalcer. Dr.-Ing. Ar. Andry Widyowijatnoko, S.T., M.T., IAI dari KK Teknologi Bangunan ITB menjadi instuktur utama dalam workshop ini dibantu oleh Rakhmat F. Aditra, S.T., M.T., Ph.D dan Dr. Akhmad Gunawan, S.T., M.T.
Melalui workshop ini, para peserta dibekali pemahaman konseptual sekaligus keterampilan praktis untuk membangun family shelter dan community shelter yang adaptif terhadap kondisi lapangan. Pendekatan konstruksi yang sederhana, penggunaan alat minimal, serta pemanfaatan material yang mudah diperoleh menjadikan model shelter ini realistis untuk diterapkan di wilayah terdampak bencana. Lebih dari sekadar struktur fisik, shelter yang dibangun diharapkan mampu menghadirkan rasa aman, kenyamanan, dan martabat bagi para penyintas—sebagaimana telah diterapkan sebelumnya oleh tim ITB pada pasca bencana di Lombok, Palu, Mamuju, Cianjur dan Kertasari (Kab. Bandung).
Family shelter adalah tenda berukuran 3.6 m x 3.6 m, bermaterialkan bambu untuk struktur utama, serta sambungan ikat tali rafia. Penggunaan tali rafia adalah untuk mempermudah proses konstruksi yang hanya memerlukan alat sederhana seperti gergaji dan golok. Meski berbentuk tenda, family shelter didesain agar lebih nyaman, manusiawi, serta tahan lama. Shelter ini bisa dibangun dalam 2-3 jam saja dengan 2-3 tukang dan bahkan bisa dibangun sendiri oleh masyarakat tanpa keterampilan ketukangan.
Community shelter yang dibangun berukuran bentang 8 meter dan panjang 5 meter, yang ditujukan sebagai tempat berkumpul, dapur umum, pusat komando bencana, tempat ibadah darurat dan lain-lain. Struktur tenda ini terbuat dari kayu dengan dua ukuran panjang yang disambung dengan mur-baut. Prinsip dasar struktur ini adalah truss 2D berbentang 8m yang bisa dirakit dalam posisi ditidurkan di atas tanah sehingga memudahkan pekerjaan. Dengan rangka planar ini, panjang bangunan ditentukan oleh jumlah rangka yang dibangun sesuai kebutuhan. Shelter kayu dengan ukuran ini bisa dibangun dalam waktu 3-4 jam dengan 3-6 tukang.
Yang tak kalah penting, workshop ini menegaskan bahwa penanganan bencana adalah kerja kolektif. Kolaborasi lintas institusi, lintas disiplin, dan lintas komunitas menjadi kunci agar respon bencana tidak berhenti pada bantuan sesaat, tetapi berkembang menjadi sistem penanganan yang lebih tangguh dan berkelanjutan. Oleh karena itu, kegiatan ini juga menjadi ajakan terbuka untuk memperluas kolaborasi dengan lebih banyak pihak—baik dari dunia akademik, komunitas lokal, sektor swasta, maupun organisasi kemanusiaan.
Workshop Emergency Shelter ini dirancang sebagai langkah awal, yang akan dilanjutkan dengan kegiatan terjun langsung ke lapangan. Tahap lanjutan tersebut diharapkan menjadi ruang pembelajaran nyata, sekaligus bentuk komitmen bersama untuk hadir lebih dekat dengan masyarakat terdampak di Aceh dan Sumatera. Dari ruang workshop menuju lokasi bencana, dari perencanaan menuju aksi—semangat inilah yang terus dijaga agar upaya pemulihan pasca bencana dapat berjalan lebih cepat, lebih tepat, dan lebih manusiawi.




